ASSASSIN'S CREED
Jika anda membaca artikel ini,
kemungkinan besar anda adalah seorang Games antusias. Yup benar sekali, Assassin’s
Creed adalah sebuah judul game besutan Ubisoft yang sukses membawa perusahaan
itu meraup untung puluhan juta dollar dalam waktu singkat. Game ini pula yang
telah membuat para gamer mengenal keberadaan Assassin, sebuah organisasi gelap
yang aktivitasnya berpusat di sekitar pembunuhan, konspirasi, kudeta, dan
peperangan. Meski game ini merupakan sebuah kisah fiksi, namun sebagian paparan
dari game tersebut memang didasarkan pada fakta.
Kami pun salah satu penggemar
game ini. Dan ketika kami melakukan surfing Internet tentang latar belakang
kisah game ini, tanpa sengaja kami menemukan sejumlah fakta unik dalam sejarah terutama yang terkait dengan Agama Islam-Nasrani-Yahudi. Dari fakta-fakta
ini kami melihat beberapa pola yang mirip dan berulang pada kurun waktu tertentu.
Sehingga kami berkesimpulan bahwa
berbagai kejadian sejarah tersebut sepertinya saling terhubung dan didalangi
oleh kelompok yang sama selama ribuan tahun.
Sebagai contoh pola yang sama
terjadi kepada umat dua nabi terakhir, yaitu Isa as. (Yesus), dan Muhammad saw.
Kami ringkas sebagai berikut.
- Sepeninggal Isa Al Masih -->Muncul Nabi-nabi palsu --> Pembunuhan Para murid --> Umat Nasrani Terpecah belah (Diawali dengan kubu Unitarian vs Trinitarian)
- Muhammad saw. wafat --> Muncul Nabi-nabi palsu --> Pembunuhan para khalifah --> Umat Islam terpecah belah (Diawali dengan kubu Sunni vs Syi’ah)
Ada kemiripan pada strategi yang digunakan untuk memecah belah agama samawi ini. Yaitu khultus terhadap individu, atau pengagungan secara berlebihan terhadap seseorang sehingga menjadi sebuah mitos. Mitos inilah yang kemudian digunakan untuk menciptakan sebuah dogma alternatif yang selanjutnya akan menimbulkan konflik dengan dogma asli. Pola ini sepertinya mulai muncul
sepeninggal Nabi Sulaiman, yang mengakibatkan terbuangnya Bani Israel ke negeri
Babilon. Namun Kami belum sempat melacak fakta-fakta sejarah yang mendukung
pengamatan ini. Insya Allah di lain waktu akan kami lengkapi.
Artikel ini kami buat dengan
menyadur berbagai tulisan di berbagai blog atau website, dan kami berusaha
menyusunnya agar menarik untuk dibaca. Di akhir tulisan ini akan kami sertakan
sumber-sumber yang kami jadikan referensi. Kami berharap melalui artikel ini,
pembaca dapat menemukan lebih banyak lagi pola-pola kejadian sejarah yang
mungkin belum kami temukan, dan mensharingnya dalam tulisan anda sendiri. Selamat Membaca.
-By Judhazt Kaskus-
Old Man of the Mountain
Freya Stark, seorang wartawati Inggris berdarah campuran
Perancis-Italia, ketika menjabat sebagai Staf Redaksi Baghdad Times di Baghdad,
Irak, banyak melakukan perjalanan jurnalistiknya. Perempuan yang menguasai
bahasa Arab dan Parsi ini atas izin Shah Iran di tahun 1930-1931 mengunjungi
sisa-sisa Benteng Alamut di Persia. Stark merupakan perempuan asing pertama
yang menjejakkan kakinya di wilayah bekas pusat kekuasaan kaum Assassins ini.
Stark membuat peta baru yang terperinci atas wilayah tersebut
dan catatan perjalanannya menjadi sebuah buku yang sangat menarik berjudul “The
Valley of the Assassins”. Dalam bukunya, Stark menulis tentang latar belakang
dan perkembangan kelompok Assassins. Stark berpedoman kepada
literatur-literatur tertua dalam Dunia Islam.
“Assassins itu sebuah sekte Parsi. Cabang dari aliran Syiah
Ismailiyah, yang mengkultuskan Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi Muhammad, beserta
Imam-Imam turunan dari garis Ali, ” demikian Stark (hal. 159).
Aliran Ismailiyah memisahkan diri dari aliran-aliran lainnya
sepeninggal Imam ke-7, Imam Jafar al-Shadiq. Walau mengaku sebagai Syiah dan
pengikut Ali, namun berlainan dengan aliran lainnya, maka Assassins tidak
mewajibkan shalat, puasa, zakat, dan sebagainya. Pandangan ‘keagamaan’
Assassins juga unik karena lebih condong kepada Komune (pada abad ke-20 dikenal
sebagai paham Komunisme)—penyamarataan sosial. Bahkan di dalam beberapa ritual
religinya, Assassins juga melakukan ritus-ritus yang kerap ditemukan pada
pengikut paganisme-Kabbalah. Seperti halnya ritus di dalam Taman Alamut yang
nyaris serupa dengan ritus pesta seks Caligula atau Nero di zaman Romawi.
Tulisan Stark yang dikutip oleh Joesoef Sou’yb dalam ‘Sejarah
Daulat Abasiah’ Jilid III (Bulan Bintang, 1978) menyatakan, “Kelompok Assassins
dipimpin oleh sebuah keluarga Persia yang kaya raya namun gila perang. Mereka
itu menyerahkan hidupnya untuk merongrong dan menghancurkan secara
berangsur-angsur terhadap segala jenis keimanan Islam dengan suatu sistem
pentahbisan (inisiasi) secara halus dan pelan-pelan, melalui beberapa tahap
(marhalah), menusukkan kesangsian-kesangsian terhadap agama Islam, hingga
kemudian si anggota menjadi seseorang yang mendewa-dewakan pemikiran bebas dan
bersikap bebas pula (liberal). ” (hal. 61)
Ke dalam agama Yahudi yang sesungguhnya memiliki Kitab Taurat
yang diturunkan kepada Nabi Musa as., kaum Kabbalah ini menyisipkan ayat-ayat
palsu sehingga Taurat menjadi rancu dan berantakan. Lantas kaum Kabbalah ini
membuat satu kitab yang dikatakan sebagai ‘titah Tuhan kepada Nabi Musa yang
tidak tercatat’ (seperti halnya Hadits Qudsi di dalam agama Islam, hanya saja
Hadist Qudsi merupakan sesuatu yang benar berasal dari Allah SWT), yang
disebutnya sebagai Kitab Talmud. Kitab Talmud ini pun akhirnya menjadi ‘lebih
suci dan tinggi’ ketimbang Taurat, sehingga kaum Yahudi ini menjadi kaum yang
dimurkai Allah SWT.
Ke dalam agama Nasrani, kaum Kabbalah memasukkan seorang
Yahudi-Talmudian bernama Paulus dari Tarsus. Paulus ini yang tidak pernah
bertemu dengan Yesus karena zaman kehidupannya jauh berbeda, membuat Kitab
Perjanjian Baru, yang disebutkan sebagai penggenapan Bibel Perjanjian Lama
(Taurat). Ke dalam Perjanjian Lama pun-seperti halnya Taurat Musa disisipkan
ayat-ayat palsu sehingga mustahil untuk kita menemukan mana yang asli dan mana
yang tidak.
Lalu ke dalam agama Islam, kaum Kabbalah ini memasukkan seorang
Yahudi juga yang berpura-pura sebagai orang Islam bernama Abdullah bin Saba.
Abdullah bin Saba inilah yang memecah umat Islam ke dalam dua kutub besar yakni
Sunni dan Syiah, sesuatu yang tidak ada saat Rasulullah SAW masih hidup.
Sesuatu yang bukan kebetulan, ujar Stark, bahwa keluarga Persia
tersebut memusatkan aktivitasnya di Mesir atas nama Dinasti Fathimiyah. Mesir
sejak zaman purba merupakan salah satu pusat berkembangnya ajaran Kabbalah.
Salah satu tonggak Kabbalah di Mesir Kuno adalah di masa
kekuasaan para Firaun, yang berkuasa ditopang oleh “Dua Kaki” yakni Militer dan
Penyihir. Di masa Nabi Musa as., para penyihir ini sebagian ada yang
meninggalkan ajaran Kabbalah dan kembali ke Islam. Namun Dewan Penyihir
Tertinggi (Majelis Ordo Kabbalah) tetap memusuhi Nabi Musa a. S dan menyusupkan
seorang anggotanya ke dalam umatnya Nabi Musa untuk memalingkan kaumnya dari
ketauhidan. Al-Qur’an mencatat orang yang disusupkan itu bernama Samiri.
Di Mesir, cikal bakal Assassins ini menyusup ke semua lini dan
menguasai posisi-posisi penting. Salah seorang dai Ismailiyah yang berasal dari
kota Rayy di Persia bernama Hassan al-Sabbah muncul sebagai tokoh di Mesir.
Hassan al-Sabbah inilah yang kemudian mendirikan sekte Assassins dan memegang
jabatan sebagai Pemimpin Agung yang pertama dari kelompok tersebut (The First
Grandmaster of the Assassins).
Kharisma dan kebrutalan Hassan al-Sabbah menjadikannya dai yang
amat disegani. Ia kemudian menciptakan ideologi bagi kelompoknya sendiri,
melaksanakan pelatihan-pelatihan militerisme dan intelijen secara
sembunyi-sembunyi, dan sebagainya.
“Ia menciptakan suatu penemuannya sendiri, membawa ide baru ke
dalam dunia politik pada masanya itu. Prinsip pembunuhan yang cuma karena haus
darah telah dikembangkannya menjadi satu alat politik berasaskan sumpah, ”
tulis Sou’yb. Dan tentu saja, proyek-proyek pembunuhan diam-diam terhadap
lawan-lawan politik pihak yang memesannya telah menjadi ladang usaha yang
sangat menguntungkan. Assassins pun menangguk keuntungan material yang sangat
besar dari usahanya.
The Secret Garden atau Taman Rahasia yang terletak di tengah
Benteng Alamut di Persia, merupakan tempat inisiasi para anggota baru yang
kisahnya telah dipaparkan di atas. Ritual yang dilakukan Assassins di Taman
Rahasia tersebut mirip dengan yang dilakukan para Templar di Rosslyn Chapel
atau di kuil-kuil mereka, yakni berakhir dengan pesta seks yang disebutnya
sebagai penyatuan suci menuju Tuhan.
Hassan al-Sabbah merupakan pendiri sekaligus Grandmaster
Assassins. Hasan berasal dari daratan Persia. Ferdinand Tottle dalam bukunya
berjudul Munjid fil Adabi (1956) menulis bahwa Hassan dikirim oleh Ibnu Attash
di tahun 1072 M ke Mesir untuk menemui Khalif al-Muntashir dari Daulah
Fathimiyah yang beraliran Syiah. Mesir kala itu dikuasai kelompok syiah, di
mana Perguruan Tinggi Al-Azhar merupakan lembaga pendidikan ternama kaum Syiah.
Hasan menuntut pendidikan di lembaga tersebut.
Sepuluh tahun kemudian, dalam usia ke-31, Hasan kembali ke Persia.
Ketika Ibnu Attash wafat, Hassan menggantikan kedudukannya. Sebelum Hassan
kembali ke Persia, Assassins masih menjadi gerakan bawah tanah yang belum
berani menampakkan diri di atas permukaan. Dan ketika Hassan telah kembali,
maka Assassins baru menampakkan diri sebagai satu gerakan dalam Sekte Syiah
Ismailiyah yang beda dengan sekte-sekte lainnya. Assassins sebenarnya bukan
hanya beda di permukaan, tapi memiliki perbedaan secara substansial dan
doktrinal. Secara akidah sebenarnya Assassins tidak lagi bisa dipandang sebagai
bagian dari kaum Muslimin karena mereka tidak mewajibkan sholat, zakat, dan
puasa, sesuatu yang sangat esensial di dalam Islam.
Sekembalinya Hassan ke Persia, gerakan Assassins mulai
memperluas pengaruhnya ke seluruh penjuru Persia dengan merebut wilayah-wilayah
strategis. Wilayah Iran Utara sampai pesisir Laut Kaspia, yang sejak zaman
Romawi banyak berdiri kota-kota benteng menjadi sasaran utama. Beberapa kota
benteng yang kokoh berdiri di antaranya Alamut, Girdkuh, dan Lamiasar berhasil
dikuasai. Benteng Alamut merupakan benteng terkuat karena berdiri di atas
puncak pegunungan di mana hanya ada satu jalan untuk keluar dan masuk, itu pun
sangat sulit dan terjal. Di dalam benteng yang merupakan peninggalan dari Kaisar
Romawi Trajanus (98-117M) terdapat ruangan-ruangan yang membingungkan dan
sebuah taman rahasia di tengahnya, di mana tidak setiap orang bisa
mengaksesnya. Oleh Hassan al-Sabbah, Benteng Alamut digunakan sebagai markas
besar kelompok tersebut.
Dari Alamut inilah kelompok Assassins menyebarkan teror ke
seluruh lapisan kerajaan, baik dari pihak Syiah maupun lawannya Sunni-Abasiyah
dan Seljuk. Masa-masa itu dikenal sebagai masa The Great Terror. Kekuatan
Assassins ini demikian melegenda hingga menjadi pembicaraan kaum Salib Eropa.
Catatan
Pengelana Eropa
Istilah Assassin kemudian mulai populer saat terjadinya perang Salib,
dan di Barat kata ini dibawa oleh Marco Polo, serta dipopulerkan oleh Edward
Burman (1987) dan Bernard Lewis. Dalam sejarahnya, hasyasyin merupakan satu
kelompok sempalan dari sekte Syiah Ismailiyyah. Hitti dalam bukunya tidak
menyebutkan kata Assassins, tetapi Hasyasyin.
Marco Polo, pelaut ternama dari Venesia pada tahun 1271-1272
melintasi daerah Alamut, sebuah benteng besar di atas karang yang sangat kuat
dan memiliki taman yang sangat indah di dalamnya, di wilayah Persia. Dalam
catatannya tentang Benteng Alamut dan aktivitas sekte Syiah pimpinan Hasan al-Sabbah,
yang diistilahkan oleh Marcopolo sebagai kaum Assassins, pelaut Italia ini
menulis:
“…Beberapa pemuda yang
berumur duabelas hingga duapuluh tahun yang memiliki semangat tarung yang
tinggi, dibawa masuk ke dalam taman yang berada di tengah-tengah benteng.
Mereka dibawa masuk bergiliran, sekitar empat, enam, atau sepuluh pemuda.
Sebelumnya, mereka disuguhi minuman keras dan candu yang membuat mereka mabuk
berat atu tertidur pulas. Baru setelah itu mereka diangkat dan dipindahkan ke
dalam taman.
Ketika bangun, para pemuda itu mendapati dirinya berada
di tengah taman yang sangat indah. Mereka dikelilingi para gadis-gadis perawan
yang mengenakan pakaian sungguh menggoda. Para gadis itu menghibur, merayu, dan
melayani keinginan para pemuda tersebut. Mereka sungguh-sungguh dimanjakan.
Para pemuda itu menyangka mereka sedang berada di surga. Sehingga ketika Hasan
al-Sabbah sebagai pimpinan tertinggi Hashyashyin memberi tugas atau perintah
kepada mereka maka mereka akan dengan senang hati akan melaksanakannya.
“Surga” yang sangat indah telah menantikan para pemuda
tersebut jika tugasnya selesai. “Saat kau kembali, bidadari-bidadariku akan
membawamu ke surga. Dan jika pun kau mati, kau pun akan pergi juga ke surga, ” ujarnya. Penggunaan candu atau Hashyishy inilah yang oleh
Marcopolo, kelompok ini disebut kaum Hashyashyin.
Dalam berbagai upayanya untuk mencapai tujuan, mereka
menggunakan pisau-pisau belati yang indah, yang menjadikan pembunuhan sebagai
seni. Organisasi rahasia mereka, yang didasarkan atas ajaran Ismailiyyah,
mengembangkan agnostisisme yang bertujuan untuk mengantisipasi anggota baru
dari kekangan ajaran, mengajari mereka konsep keberlebihan para nabi dan
menganjurkan mereka agar tidak mempercayai apa pun serta bersikap berani untuk
menghadapi apa pun. Di bawah mahaguru ada tingkatan guru senior yang
masing-masing bertanggung jawab atas setiap daerahnya. Di bawahnya, ada dai-dai
biasa, sedangkan tingkatan yang paling rendah adalah para fida’i yang selalu
siap sedia melaksanakan setiap perintah sang Mahaguru (syekh, the elder, orang
tua) (Philip K. Hitti, 2010: 565).
Hasyasyin juga cukup dikenal di dunia Barat. Persentuhannya
dengan Barat, menurut Lewis, dimulai ketika belati mereka tertancap pada Conrad
of Montferrat, raja kerajaan Latin Yerusalem. Pembunuhan tersebut, menurut
Lewis, menimbulkan kesan yang mendalam pada para pasukan perang salib, dan
mayoritas kronikus perang salib III mempunyai pengungkapan sesuatu mengenai
sekte yang menakutkan tersebut, dan keyakinan serta cara-caranya yang aneh,
serta pemimpin mereka yang mengagumkan.
Dia memikat mereka juga dengan cara yang aneh, seperti memberi
harapan-harapan, janji-janji kesenangan dan kebahagiaan abadi, yang membuat
mereka lebih memilih mati untuk mendapatkannya. Bahkan banyak diantara mereka
yang akan terjun dari dinding yang tinggi yang akan menghancurkan kepala mereka
dan membuat mereka mati dengan cara yang amat mengerikan, hanya dengan aba-aba
anggukan kepala atau perintahnya. Ketika beberapa diantara mereka lebih memilih
mati dengan cara ini —membunuh seseorang dengan keahliannya dan kemudian mereka
akan membunuh diri mereka hingga sekarat dalam keberkatan—, sang mahaguru
memberikan mereka belati yang disiapkan secara khusus untuk prosesi ini, dan
kemudian dia memberi semacam obat yang dapat membuat mereka mabuk serta lupa,
kemudian mereka ditunjukkan, dengan magisnya, pada mimpi-mimpi yang fantastis,
penuh kesenangan, atau semacam itu. Tidak hanya berhenti di situ saja, sang
mahaguru menjanjikan bahwa mereka akan menikmati kebahagiaan seperti itu
selamanya sebagai balasan perbuatan yang telah mereka lakukan” (Bernard Lewis,
1967: 4).
Gambaran yang dideskripsikan oleh Lewis di atas sangat menarik,
karena hal seperti ini pula sebenarnya yang memacu seseorang untuk melaksanakan
jihad fi sabilillah dengan mengangkat pedang. Penjelasan mengenai surga —sebagaimana
yang digambarkan dalam al-Qur’an— yang di dalamnya terdapat sungai anggur,
madu, dan susu, perempuan-perempuan cantik, serta kebun-kebun yang belum pernah
dilihat di mata disuguhkan secara konkrit oleh sang mahaguru, sehingga pemuda
yang disiapkan menjadi hasyasyin benar-benar percaya dan tidak memiliki alasan
untuk tidak percaya bahwa itulah surga. Dan memang pada masa perang salib, hal
ini memberikan kesan yang mendalam mengenai taktik dan strategi hasyasyin dalam
meneror dan membunuh target-target yang menjadi korbannya. Dan tidak itu saja,
Lewis mensinyalir bahwa hasyasyin juga sering disewa oleh orang-orang Barat
untuk membunuh musuh-musuhnya.
Dalam setiap pembunuhan yang mereka lakukan, baik di persia
maupun di Syiria, para Hasyasyin selalu menggunakan belati; tidak pernah
memakai racun atau peluru meskipun dalam banyak kesempatan hal itu akan membuat
pembunuhan menjadi lebih mudah dan lebih aman. Menurut Lewis, seorang Hasyasyin
hampir pasti selalu tertangkap, dan biasanya mereka memang tidak berusaha
melarikan diri; bahkan ada anggapan bahwa selamat setelah melaksanakan tugas
merupakan suatu hal yang memalukan. Seorang pengarang Barat abad XII
mengatakan: “ketika kemudian ada beberapa orang di antara mereka yang memilih
mati dengan cara ini… dia sendiri (baca: sang ketua) akan memberi mereka pisau
yang menurutnya memang disiapkan untuk itu…”(Bernard Lewis, 1967: 47). Hal ini
dikarenakan sang hasyasyin benar-benar mengharapkan surga.
Peran Rahasia Assassins Pada Perang Salib
Penulisan sejarah
tentang Perang Salib sampai
hari ini masih menyisakan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Salah satunya
tentang peranan kaum Hashyashyin, sebuah sekte (ordo) khusus pembunuh dari
kelompok Ismailiyah-Qaramithah, salah satu cabang dari kelompok Syiah di bawah
Dinasti Fathimiyah.
Konon, Hashyashyin
ini merupakan “guru” dari Knights Templar yang dibentuk oleh Ordo Sion di
tahun 1118 Masehi. Keduanya—Hashyashyin maupun Templar-memiliki banyak
kemiripan. Mulai dari struktur organisasi, pembangkangan terhadap agama
(bid’ah) dan bahkan dianggap agnostik (tidak meyakini agama apapun kecuali doktrin
pemimpinnya), kepandaiannya dalam berperang, membunuh, serta keterampilan dalam
hal pengunaan racun, serta adanya ritual-ritual khusus yang penuh dengan warna
mistis-paganistik.
Bahkan banyak penulis sejarawan modern menganggap Sekte Syiah
Qaramithah—asal muasal gerakan Assassins—sebagai kelompok Bolsyewisme-Islam
atau cenderung komunistis. Pendiri sekte ini bernama Hamdan al-Qarmath, seorang
Irak yang gemar pada ilmu-ilmu perbintangan dan kebatinan, mirip dengan
pengikut Kabbalah (Hitti, History of the Arabs: From the Earliest Times to the
Present, 2002).
Templar sendiri sesungguhnya pengikut Kabbalah, walau mereka
mengaku sebagai pemeluk Kristen pada awalnya.
Sebab itu, banyak sejarawan Barat yang menuding di antara kedua sekte
khusus pencabut nyawa ini sesungguhnya terjalin satu kerjasama dalam bentuk
yang tersembunyi. Salah satu yang memunculkan dugaan ini adalah Prof. Carole
Hillenbrand, Guu Besar Studi Islam dan Bahasa Arab University Edinburgh,
Skotlandia. Skotlandia sendiri dikenal sebagai wilayah basis dari Freemasonry
yang lahir di darah ini selepas penumpasan Templar oleh Raja Perancis, King
Philipe le Bel, yang dibantu Paus Clement V di tahun 1307 M.
Profesor Hillenbrand dalam bukunya “The Crusade, Islamic
Perspective” (1999) menulis bahwa setahun sebelum pasukan salib gelombang
pertama yang dikomandani Godfroi de Bouillon tiba di pintu Yerusalem di tahun
1099 dan merebutnya, Yerusalem diserang oleh pasukan dari Dinasti
Fathimiyah-Syiah yang berpusat di Mesir dan merebutnya dari tangan kekuasaan
Dinasti Abbasiyyah yang beraliran Sunni.
Jadi, ketika pasukannya Godfroi tiba di pintu kota Yerusalem,
kota suci itu sebenarnya telah berada di bawah kekuasaan Bani Fathimiyah. Atas
kejadian ini, Hillebrand mempertanyakan tidak adanya catatan khusus dari para
sejarawan Muslim. “Serangan tiba-tiba yang dilakukan al-Afdhal (Wazir dari
Dinasti Fathimiyah Mesir) ke Yerusalem, dengan waktu yang amat tepat,
memerlukan penjelasan yang belum diberikan para sarjana Islam. Mengapa
al-Afdhal melakukan serangan ini? Apakah karena ia telah tahu lebih dulu soal
rencana para Tentara Salib? Bila demikian, apakah ia merebut Yerusalem untuk
kepentingan Tentara Salib, yang sebelumnya telah menjalin aliansi dengannya?”
tulis Hillebrand.
Salah satu hipotesis yang dikemukakan peraih The King Faisal
International Prize for Islamic Studies ini adalah, bahwa pasukannya al-Afdhal
telah dikhianati oleh Godfroi de Bouillon, karena sesungguhnya Kaisar
Byzantium—Kristen Timur yang bertentangan secara ideologi dengan Kristen Barat
yang mengirimkan Tentara Salib—telah memberitahu al-Afdhal bahwa pasukan Salib
Kristen Barat akan segera tiba di Yerusalem. Pemberitahuan ini diberikan Kaisar
Byzantium tidak lama berselang setelah Konsili Clermont usai.
Bisa jadi, demikian Hillebrand, al-Afdhal menginvasi Yerusalem
agar Godfroi menahan pasukannya dan bisa berbagi kekuasaan, karena al-Afdhal
mengira Tentara Salib atau ‘Bangsa Frank’ menurut Hillenbrand bisa dijadikan
sekutu yang baik menghadapi Muslim Sunni. Namun yang terjadi tidak demikian.
“Tentara Salib hendak menguasai Yerusalem untuk dirinya sendiri, ” tulisnya.
Lantas di mana peranan Assassins dalam hal ini?
Peran Tersembunyi Assassins
Menjelang Perang Salib pertama, dunia Barat dan Timur
masing-masing mengalami perpecahan (schisma) yang hebat. Dunia Barat setidaknya
menjadi dua kekuatan besar: Kristen Timur yang berpusat di Byzantium dan
Kristen Barat yang berpusat di Roma. Secara diam-diam, Sekte Gereja Yohanit
yang sesungguhnya agnostik-paganistik menyusup ke Vatikan dan menyusun
kekuatannya. Di sisi lain Dunia Islam juga terbagi menjadi dua kekuatan besar
yang juga saling memusuhi yakni Kekhalifahan Abbasiyah yang sunni dan Kekhalifahan
Fathimiyah yang syiah yang berpusat di Mesir.
Carole Hillenbrand menulis, “Dalam kurun waktu kurang dari dua
tahun, sejak 1092 M, terjadi rentetan pembersihan semua pemimpin politik
terkemuka Dunia Islam dari Mesir hingga ke timur. Tahun 1092, seorang menteri
terkemuka Dinasti Seljuk sunni bernama Nizam al-Mulk terbunuh (belakangan
diketahui Assassins-lah yang melakukan itu). ”
Tiga bulan kemudian, Sultan Maliksyah, sultan ketiga Seljuk yang
telah berkuasa dengan gemilang selama duapuluh tahun juga meninggal dengan
sebab-sebab yang mencurigakan. Kuat dugaan ia juga telah diracun Assassins. Tak
lama kemudian, permaisuri dan cucu-cucunya pun meninggal dengan cara yang tak
lazim. Para sejarawan Islam memandang tahun 1092 M sebagai “Tahun Kematian”.
Apalagi dengan peristiwa meninggalnya Khalifah Fathimiyah Syiah di
Mesir, al-Muntanshir, musuh besar Seljuk, yang juga terjadi pada tahun itu. Dua
tahun kemudian, 1094, Khalifah Abbasiyah alMuqtadhi juga meninggal.
Rentetan perubahan yang berjalan amat cepat ini oleh Hillenbrand
disamakan dengan terjadinya Perestroika di Uni Soviet yang mengakibatkan
kehancuran dan perpecahan. Berbagai sekte dan negara kecil-kecil memisahkan
diri dan menjadi kekuatannya masing-masing. Dunia Islam menjelang Konsili
Clermont di tahun 1096 sudah berubah menjadi dunia yang penuh kekacauan dan
anarki.
Hillenbrand mengajukan pertanyaan: “Momentum ini bagi pasukan
Salib sungguh menguntungkan. Apakah saat itu pasukan Salib telah diberitahu
bahwa saat itu merupakan momentum yang sangat bagus untuk menyerang Yerusalem?”
Jika di balik, pertanyaan Hillenbrand sebenarnya bisa lebih
menukik, seperti: “Adakah kekacauan di Dunia Islam ini telah diatur? Assassins
bertugas menimbulkan perpecahan di kalangan Islam dengan melakukan serangkaian
pembunuhan di berbagai dinasti Islam yang kuat, dan di lain sisi Ordo Yohanit
(Peter The Hermit dan Godfroi de Bouillon sebagai dua tokohnya) di saat yang
sama menyusup ke Vatikan dan memprovokasi Paus agar mengobarkan Perang Salib
untuk merebut Yerusalem.
Apalagi sejarah mencatat bahwa hanya setahun sebelum pasukan
Salib tiba di depan gerbang Yerusalem, kota suci itu telah jatuh ke tangan
Dinasti Fathimiyah. Adakah ini merupakan persekongkolan antara Assassins dengan
Ordo Yohanit di mana keduanya memang diketahui cenderung kepada ilmu-ilmu
ramalan, perbintangan, sihir, dan sebagainya yang menjurus pada ajaran
Kabbalah.
Dengan kata lain, adalah semua kejadian besar itu merupakan
hasil konspirasi yang dilakukan Ordo Kabbalah dengan pembagian kerja: Assassins
bekerja di Dunia Islam, sedangkan Yohanit (Ordo Sion dan kemudian Templar)
bekerja di Dunia Kristen ?
Bukan rahasia umum lagi bila Assassins dan Templar di kemudian
hari benar-benar melakukan kerjasama. Templar sering mengorder Assassins untuk
membunuh musuh-musuh politiknya. Salah satu korban dari Assassins adalah
Richard The Lion Heart. Salahuddin al-Ayyubi sendiri pernah menerima terror
dari Assassins.
Suatu pagi, Salahuddin terbangun dari tidur di dalam tendanya
dan menemukan sepotong kue yang telah diracun di atas dadanya dengan tulisan,
“Anda berada dalam kekuasaan kami. ” Sejak itu Salahudin makin yakin bahwa dia
tidak bisa meremehkan Assassins. Dan hal ini terbukti kemudian, setelah
membebaskan Yerusalem, Salahudin terus melakukan pembebasan hingga ke Benteng
Alamut, markas besar Assassins di Persia, sebelum akhirnya ke Mesir untuk
melakukan pembersihan terhadap sekte Syiah.
Ditumpas Shalahuddin al-Ayyubi dan Mongol
Selain Tentara Salib dengan Ksatria Templar dan Hospitaller-nya, pasukan
Shalahuddin Al-Ayyubi juga harus menghadapi kelompok Assassins. Shalahuddin
tidak bisa melupakan bagaimana Assassins pernah mengancam dirinya dengan
menaruh kue beracun di atas dadanya saat dia tengah tertidur. Sebab itu,
setelah membebaskan Yerusalem dengan mengalahkan Tentara Salib di tahun 1187,
Shalahuddin tidak berhenti. Panglima pasukan Islam itu terus menyusuri ke utara,
membebaskan daerah-daerah lainnya hingga mengejar kaum Assassins hingga ke
Benteng Alamut.
Para pembunuh itu dibasmi total oleh Kekaisaran Mongol dalam
invasi di Khwarizm. Para Assassin mungkin mengirim pembunuh mereka untuk
membunuh Mongke Khan. Akhirnya surat perintah diserahkan kepada komandan Mongol
Kitbuqa yang kemudian memulai beberapa serangan terhadap benteng Hashshashin di
1253, dilanjutkan oleh Hulagu Khan di
1256. Mongol memporak porandakan Alamut pada 15 Desember 1256. Para Assassin ini
masih kembali dan mengadakan kegiatan di Alamut selama beberapa bulan pada
1275, tapi setelah itu mereka lenyap dan kekuasaan politik mereka hilang
selamanya.
Pasca serangan yang dilakukan pasukan Shalahuddin, kemudian dilanjutkan
oleh pasukan Mongol, kelompok Assassins menyebar ke berbagai wilayah, utamanya
Lebanon, Persia, dan Suriah. Bertahun-tahun kemudian, kelompok ini tidak lagi
terdengar dan istilah “Asassins” telah mengalami perubahan makna menjadi
“Pembunuh Bayaran”. Dalam budaya modern, istilah ini diangkat menjadi tema
dalam novel-novel dan layar perak.
Dalam kancah konflik di dunia Arab, anak-keturunan kelompok ini
dikenal sebagai kaum Druze, suatu kelompok pro-komunis di Lebanon dan Suriah.
Namun beberapa kelompok kecil masih bertahan hingga kini di sekitar wilayah
tersebut.
Jejak-Jejak Hasyasyin Saat Ini (Abad XIX-XX)
Lewis dalam buku Assassins mengungkapkan bahwa pada 1833, dalam
Journal of The Royal Geographical Society, seorang pegawai British yang dikenal
dengan Colonel W. Monteith dalam perjalanannya telah sampai pada pintu masuk
lembah Alamut, tetapi belum benar-benar sampai atau mengenali istana tersebut.
Lebih jauh dia menuliskan bahwa hal ini kemudian berhasil dilakukan oleh
seorang saudara W. Monteith, Lieutenant Colonel (sir) Justin Sheil, yang
laporannya diterbitkan pada jurnal yang sama tahun 1838. Seorang pegawai
British yang ketiga yang bernama Stewart mengunjungi istana tersebut beberapa
tahun kemudian. Setelah itu, baru satu abad kemudian penelitian mengenai Alamut
dimulai lagi.
Data ini kemudian Lewis perkuat dengan mengatakan bahwa, pada
1811, Rousseau, konsul dari Aleppo, dalam sebuah perjalanan ke Persia
menyelidiki pengikut Ismailiyah dan kaget saat mengetahui bahwa di kota
tersebut masih banyak yang masih setia pada seorang imam yang bergaris
keturunan Ismail. Nama imam tersebut adalah Shah Khalilullah, ia tinggal di
sebuah desa yang bernama Kehk, dekat Qumm, yang terletak diantara Tehran dan
Isfahan. Menurut Rousseau, Shah Khalilullah hampir dianggap sebagai tuhan oleh
para pengikutnya, dan dianggap memiliki mu’jizat, dan mereka terus menerus mempersembahkan
harta kekayaan dari harta benda milik mereka dan seringkali mereka menjulukinya
sebagai khalifah. Bahkan banyak pengikut Ismailiyah yang berada di India,
mereka secara reguler datang ke Kehk melalui pinggiran sungai Gangga dan Indus
untuk menerima berkah dari imam mereka, sebagai balasan kebaikan dan sumbangan
mereka (Bernard Lewis, 1967: 14).
Pada tahun 1825 seorang pelancong Inggris, J.B. Fraser
mengkonfirmasikan keberadaan pengikut Ismailiyah di Persia dan ketaatan mereka
kepada para pemimpinnya, meski mereka tidak lagi mempraktekkan pembunuhan
dengan perintah para pemimpinnya; namun hingga saat ini Shah atau pemimpin
sekte tersebut dipuja secara membabi buta oleh para pengikutnya yang masih
tersisa, meskipun kegiatannya benar-benar sudah berbeda dengan karakter sekte
pada awalnya. Ada juga beberapa pengikut sekte ini yang bertempat tinggal di
India, yang masih setia pada pemimpinnya. Pemimpin yang dahulu, Shah
Khalilullah telah terbunuh di Yazd beberapa tahun sebelumnya (tahun 1817), oleh
para pemberontak yang melawan gubernur. Dia kemudian digantikan –dalam
kapasitas keagamaannya— oleh salah seorang anaknya yang mendapatkan
penghormatan serupa dari sekte tersebut.
Catatan Yang Hilang
Sampai hari ini, sejarawan masih bersilang pendapat soal hubungan antara
Sekte Assassins dengan Ksatria Templar (dan Ordo Sion tentunya). Carolle
Hillebrand dalam karyanya yang mendapat penghargaan dari King Faisal termasuk
yang percaya bahwa di bawah permukaan, di masa sebelum dan sesudah Perang
Salib, antara kedua kelompok ini sebenarnya terdapat kerjasama yang unik.
Keduanya memiliki kemiripan di dalam memahami kitab suci agamanya
masing-masing. Baik Templar maupun Assassins dituduh telah melakukan heresy
atau bid’ah, karena keduanya memahami kitab sucinya lebih dari sekadar apa yang
tertulis dan meyakini ada pesan-pesan tidak tertulis di dalam teks-teksnya.
Kalangan sejarawan menyebut mereka berdua sebagai kelompok esoteris. Sebab itu,
ritual-ritual keagamaan keduanya pun mirip.
Sebagai penutup, kami tampilkan videoclip tentang badai fitnah yang melanda umat Islam sepeninggal Rasulullah. Semoga menjadi pelajaran bagi kita semua.
Referensi :
Rizki Ridyasmara: khai79.blogspot.com
hasbee.wordpress.com
http://www.kaskus.co.id/thread/000000000000000003543800/-
Ajid Thahir,
Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004.
Bosworth, The Islamic
Dynasties, terjemah: Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 1993.
Bernard Lewis, The
Assassins: Radical Sect In Islam, London: Al Saqi Books. 1967.
Edward Burman, The
Assassins: Holy Killers of Islam, Ed. Crucible, Wellingborough, 1987,
Edward W. Said,
Orientalism, New York: Vintage Books, 1978.
Michel Foucault,
Power/Knowledge, New York: Pantheon Books, 1980.
Philip K. Hitti, The
History of Arabs, Jakarta: Serambi, 2010